Pages

Subscribe:

September 1, 2014

Binishells: Teknologi baru membangun Rumah Hijau yang Murah


Binishelss, rumah murah yang mulai dikembangkan di Tiongkok.
Jalan keluar pembangunan rumah murah dalam jumlah besar yang bisa diproduksi dalam waktu singkat kini mulai ditemukan. Di Tiongkok, perusahaan material inovatif Yingchuang New Materials sudah berhasil memproduksi 10 bangunan rumah dengan memanfaatkan teknologi cetak tiga dimensi. Sementara, arsitek Nicoló Bini menawarkan solusi usang berupa Binishells.

Dalam situs remsinya Binishells, teknologi ini mungkin merupakan cara terhijau yang pernah diciptakan untuk membangun. Menggunakan udara sebagai cetakan, Binishells tergolong hijau karena memberikan lapisan luar bangunan yang efisien. Binishells juga kuat dan fleksibel dalam bentuk dan ukuran. Bangunan ini juga sangat terjangkau karena menggunakan lebih sedikit tenaga kerja dan material dalam proses konstruksi. Biaya operasionalnya juga lebih murah.

Binishells sebenarnya sudah dikembangkan oleh arsitek Dante Bini, ayah Nicoló Bini, pada 1960-an. Bangunan Binishells pertama tepatnya dibuat pada 1964.

Kubah Binishell terbuat dari struktur beton bertulang. Pada dasarnya, proses pembuatan Binishel dimulai dengan menaruh pneumoform di tanah, menuangkan beton, menaruh tulangan, kemudian memompanya.

Joseph Flaherty dari Wired.com mendeskripsikan teknik ini seperti menyelimuti balon dengan bubur kertas. Untuk membentuk patung atau topeng, bubur kertas dibiarkan mengeras di permukaan balon, kemudian balon diletuskan hingga hanya tersisa cangkang kosong. Bagi Nicoló Bini, teknik ini tidak hanya cocok untuk membuat mainan. Teknik ini merupakan jawaban bagi kebutuhan rumah murah dan rumah-rumah darurat pasca bencana. Bini juga percaya, metode tersebut bisa digunakan untuk membangun sekolah, basis militer, stadion olah raga, dan bangunan apa pun dalam biaya rendah.

Selain cepatnya proses pembangunan dan rendahnya biaya, Nicoló Bini tertarik pada penggunaan teknik ini lantaran sifatnya yang berbeda dari pembangunan naungan pasca bencana lain. Setiap Binishell hanya membutuhkan biaya sekitar 3.500 dollar AS atau Rp 41,2 juta. Selain itu, Binishells juga bisa bertahan sebagai bangunan permanen.

Sumber yang sama menyatakan, hingga saat ini sudah ada 1.600 Binishells dibangun di 23 negara. Beberapa Binishells pun masih berdiri hingga saat ini.

"Binishells telah bertahan, bahkan dalam lingkungan ekstrem, seperti lahar, abu, dan gemppa bumi di Gung Etna selama hampir 50 tahun," ujar Nicoló.

Kendati demikian, Binishells masih punya kekurangan. Tantangan terbesar yang akan dirasa oleh penghuni adalah ketidakpraktisan hidup. Kabel dan infrastruktur lain tidak bisa disisipkan di dalam dinding, serta bentuk kubah akan banyak terbuang. Selain itu, penghuni kubah juga akan sulit menggantung foto.

Namun, Ben Schiller dari Fastcoexist.com  berpendapat bahwa Bini kini tengah berupaya menjalankan kerjasama ke berbagai pihak di seluruh dunia. Tidak mustahil, publik akan melihat kehadiran lebih banyak Binishells baru di masa depan.

Sumber: Kompas.com