Pages

Subscribe:

December 12, 2014

Asal Usul nama kota Makassar



Salah satu grup kesenian musik Makassar di zaman Belanda

Sulawesi Selatan, merupakan salah satu Propinsi di pulau Sulawesi yang dikenal sebagai pintu jalur perdagangan dari dan menuju kawasan Timur Indonesia. Nah, kali ini kita akan membahas mengenai ibukota dari Propinsi Sulawesi Selatan, yaitu Makassar yang dulu saat masa penjajahan Belanda bernama Jumpandang dan mengalami perubahan menjadi Ujung Pandang.

Pada 9 November 2014 kemarin, Kota Makassar merayakan Ulang tahunnya yang ke 407 tahun. Hmm, terbilang cukup tua juga yah. Akan tetapi tahukah kita kalau nama Makassar sendiri itu lahir jauh sebelum Hari jadi kota Makassar. Berikut ulasan mengenai sejarah asal muasal lahirnya nama ‘MAKASSAR’, dimulai pada kisah hampir setengah abad yang lalu dan semuanya dirangkum dari berbagai sumber.


Di kisahkan pada tahun 1500-an, Seorang Baginda Raja Tallo ke-VI Mangkubumi Kerajaan Gowa, I Mallingkaang Daeng Mannyonri KaraEng Katangka yang merangkap Tuma'bicara Butta ri Gowa (lahir tahun 1573), bermimpi melihat cahaya bersinar yang muncul dari Tallo selama tiga hari berturut-turut. Cahaya kemilau nan indah itu memancar ke seluruh Butta Gowa hingga ke negeri tetangga lainnya.
Ilustrasi model kerajaan-kerajaan di kota Makassar tempo dulu
Hingga pada malam ketiga, tepatnya pada malam Jum'at tanggal 9 Jumadil Awal 1014 H atau tanggal 22 September 1605 M, dibibir pantai Tallo nampak sebuah perahu kecil sedang merapat.  Layarnya terbuat dari kain sorban dan berkibar kencang. Nampak sesosok lelaki menambatkan perahunya lalu melakukan gerakan-gerakan aneh yang pada saat ini dikenal sebagai gerakan Sholat. Cahaya yang terpancar dari tubuh Ielaki itu menjadikan pemandangan yang menggemparkan penduduk Tallo, yang sontak ramai membicarakannya hingga sampai ke telinga Baginda KaraEng Katangka. Di pagi buta itu, Baginda Raja bergegas ke pantai. Tapi tiba-tiba lelaki itu sudah muncul ‘menghadang’ di gerbang istana. Berjubah putih dengan sorban berwarna hijau. Wajahnya teduh. Seluruh tubuhnya memancarkan cahaya.

Lelaki itu menjabat tangan Baginda Raja yang tengah kaku lantaran takjub. Digenggamnya tangan itu lalu menulis kalimat di telapak tangan Baginda.
"Perlihatkan tulisan ini pada lelaki yang sebentar lagi datang merapat di pantai,” perintah lelaki itu lalu menghilang begitu saja.
Baginda terperanjat. la meraba-raba matanya untuk memastikan ia tidak sedang bermimpi. Dilihatnya tulisan ditelapak tangannya ternyata jelas adanya. Baginda KaraEng Katangka lalu bergegas ke pantai. Betul saja, seorang lelaki tampak tengah menambat perahu, dan menyambut kedatangan beliau.
Karaeng I Mallingkaang Dg. Manyonri
Singkat cerita, Baginda menceritakan pengalamannya tadi dan menunjukkan tulisan di telapak tangannya pada lelaki itu.
“Berbahagialah Baginda. Tulisan ini adalah dua kalimat syahadat,” kata lelaki itu. Adapun lelaki yang menuliskannya adalah Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wassallam sendiri. Baginda Nabi telah menampakkan diri di Negeri Baginda.

Peristiwa ini dipercaya sebagai awal mula lahirnya nama "Makassar", yakni diambil dari nama "Akkasaraki Nabbiya", artinya Nabi menampakkan diri. Adapun lelaki yang mendarat di pantai Tallo itu adalah Abdul Ma'mur Khatib Tunggal yang dikenal sebagai Dato' ri Bandang, berasal dari Kota Tengah (Minangkabau, Sumatera Barat). Baginda Raja Tallo I Mallingkaang Daeng Manyonri KaraEng Katangka setelah memeluk Agama Islam kemudian bergelar Sultan Abdullah Awaluddin Awawul Islam KaraEng Tallo Tumenanga ri Agamana. Beliau adalah Raja pertama yang memeluk agama Islam di dataran Sulawesi Selatan.

Lebih jauh, penyusuran asal nama "Makassar" dapat ditinjau dari beberapa segi, yaitu:
1.    Makna.
Untuk menjadi manusia sempurna perlu "Ampakasaraki", yaitu menjelmakan (menjasmanikan) apa yang terkandung dalam bathin itu diwujudkan dengan perbuatan. "Mangkasarak" mewujudkan dirinya sebagai manusia sempurna dengan ajaran TAO atau TAU (ilmu keyakinan bathin). Bukan seperti yang dipahami sebagian orang bahwa "Mangkasarak" orang kasar yang mudah tersinggung. Sebenarnya orang yang mudah tersinggung itu adalah orang yang halus perasaannya.

2.    Sejarah.
Sumber-sumber dari Portugis pada permulaan abad ke-16 sebenarnya telah mencatat nama "Makassar". Pada Abad ke-16 "Makassar” sudah menjadi ibu kota Kerajaan Gowa. Dan pada Abad itu pula, Makassar sebagai ibu kota sudah dikenal oleh bangsa asing. Bahkan dalam syair ke-14 Nagarakertagama karangan Mpu Prapanca (1365) nama Makassar telah tercantum.
Beberapa literature dari Kitab Negarakartagama yang juga membahas tentang Makassar
3.    Bahasa.
Dari segi Etimologi (Daeng Ngewa, 1972:1-2), Makassar berasal dari kata "Mangkasarak" yang terdiri atas dua morfem ikat "mang" dan morfem bebas "kasarak".
Morfem ikat "mang" mengandung arti: a). Memiliki sifat seperti yang terkandung dalam kata dasarnya. b). Menjadi atau menjelmakan diri seperti yang dinyatakan oleh kata dasarnya.
Morfem bebas "kasarak" mengandung (arti: a). Terang, nyata, jelas, tegas. b). Nampak dari penjelasan. c). Besar (lawan kecil atau halus).

Jadi, kata "Mangkasarak" Mengandung arti memiliki sifat besar (mulia) dan berterus terang (Jujur). Sebagai nama, orang yang memiliki sifat atau karakter "Mangkasarak" berarti orang tersebut besar (mulia), berterus terang (Jujur). Sebagaimana di bibir begitu pula di hati.

John A.F. Schut dalam buku "De Volken van Nederlandsch lndie" jilid I yang membahas mengenai De Makassaren en Boegineezen, menyatakan: "Angkuh bagaikan gunung-gunungnya, megah bagaikan alamnya, yang sungai­sungainya di daerah-daerah nan tinggi mengalir cepat, garang tak tertundukkan, terutama pada musim hujan; air-air terjun tertumpah mendidih, membusa, bergelora, kerap menyala hingga amarah yang tak memandang apa-apa dan siapa-siapa. Tetapi sebagaimana juga sungai, gunung nan garang berakhir tenang semakin ia mendekati pantai. Demikian pulalah orang Bugis dan Makassar, dalam ketenangan dapat menerima apa yang baik dan indah".
Potret orang Bugis - Makassar zaman dulu, Bersahaja.
Dalam ungkapan "Akkana Mangkasarak", maksudnya berkata terus terang, meski pahit, dengan penuh keberanian dan rasa tanggung jawab. Dengan kata "Mangkasarak" ini dapatlah dikenal bahwa kalau dia diperlakukan baik, ia lebih baik. Kalau diperlakukan dengan halus, dia lebih halus, dan kalau dia dihormati, maka dia akan lebih hormat.