Pages

Subscribe:

February 3, 2016

5 Hal inilah yang ‘membunuh’ perusahaan Nokia dan Kodak


Kodak dan Nokia, 2 perusahaan raksasa dibidang fotografi dan komunikasi

Ketika kita mendengar beberapa motivator menyebutkan kata “Berinovasi atau mati”, maka yang langsung terbersit dibenak kita ialah dua ex-perusahaan raksasa yang sering dijadikan contoh perbandingan. Mereka adalah Nokia dan Kodak. Tapi seperti apa dan bagaimana  kedua perusahaan ini bisa berakhir, tentunya sebagian dari kita belum begitu jelas mengetahuinya. Ada yang menyebutkan kalau mereka gagal dalam berinovasi tapi ada pula yang menyimpulkan bahwa keduanya gagal karena terlalu “terlena” hingga sampai tertidur panjang dengan kesuksesan mereka dimasa lalu, dan saat mereka terbangun. BANG!!. Sudah terlambat bagi mereka untuk sadar bahwa perusahaan kecil (baca: kompetitor) yang dulu mereka remehkan telah berhasil men-disruptive mereka hingga tak bisa bangkit kembali.  “Flawless Victory for The Disruptors”

Berikut adalah 5 hal yang menjadi penyebab hancurnya kedua perusahaan tersebut dilansir dari philmckinney.com:


1) Terlalu sempit mendefinisikan usaha mereka
Nokia memulai usahanya disebuah desa kecil di Finlandia, sebagai perusahaan pabrik kertas. Perusahaan itu kemudian berkembang menjadi perusahaan elektronik pada 1960-an dan ditahun 1979, Nokia berhasil membangun jaringan selular pertama didunia. Tak lama kemudian, Nokia lalu meluncurkan produk telepon mobil pertamanya dengan nama, Mobira Senator.
Mobira Senator, Nokia
Pada masa akhir tahun 1990-an hingga awal 2000-an, Nokia menjadi Leader bagi perusahaan ponsel yang ada didunia. Keuntungan mereka melambung tinggi. Nilai saham mereka semakin bertambah. Tak heran pada masa itu, masyarakat menyebut semua ponsel yang ada dengan nama Nokia, meskipun mereknya bukan Nokia.

Hingga akhirnya, perusahaan-perusahaan yang bergerak dibidang internet-pun mulai bermunculan dengan tenaga ahli mereka yang tahu kalau koneksi data nantinya akan menjadi sistem komunikasi dimasa depan, bukan lagi koneksi suara.

Terhadap hal ini, Nokia lambat menyadarinya hingga pada tahun 2013, saat divisi hardware Nokia diakuisisi oleh Microsoft, saat itulah akhir dari masa kejayaan Nokia.

Dalam sebuah artikel di TechCrunch, Daniel Gleeson mengatakan kalau Nokia tidak menguasai seluruh konsep mengenai software serta ide mengenai pengembangan ekosistem berbasis aplikasi. Nokia hanya fokus pada  masalah hardware dan mereka menemui jalan buntu disitu.

Adam Leach adalah seseorang yang pernah bekerja dalam pengembangan platform smartphone Nokia bernama Symbian sekaligus juga salah seorang yang terlibat dalam proyek Nokia Communicator, salah satu smartphone pertama yang pernah dibuat. Berbicara mengenai pengalamannya saat bekerjasama dengan Nokia, Leach mengatakan Nokia memiliki prinsip: “Selalu telepon yang paling penting, dan kita berbicara mengenai jumlah penjualan telepon”. 
Nokia 1100, yang dirilis pada 2003 menjadi ponsel dengan penjualan terbanyak, atau 250 juta handheld
Keengganan Nokia mengalihkan fokus mereka dari bidang hardware kebidang software membuat mereka pada akhirnya harus ‘mengais’ sisa-sisa pasar ponsel dari perusahaan lain.

Begitupun halnya dengan Kodak. Perusahaan ini masih memilih asyik ‘bermain’ diteknologi kamera analog dibanding berubah cepat keteknologi digital padahal merekalah yang pertama kali menemukan teknologi kamera digital. Seperti yang diberitakan majalah Forbes, bahwa para petinggi diKodak sudah terlanjur terikat dengan pola pikir bahwa gaji yang mereka terima selama ini berasal dari penjualan roll film (klise), cairan pencuci film dan kertas foto. Menurut mereka, jika tak ada yang membeli tiga produk tersebut maka perusahaan tidak memperoleh keuntungan. Jadi pelajaran yang bisa dipetik dari dua kisah diatas ialah: Berhati-hatilah dalam mendefinisikan usaha yang kita jalankan. Berpikirlah lebih luas - Out of the Box – untuk memperhitungkan kemungkinan terjadinya perubahan serta kemampuan kita dalam mengetahui hal yang paling diinginkan oleh Customer.

2) Lupa akan Customer
George Eastman, sang pendiri Kodak, pernah mengatakan bahwa suatu saat nanti ia ingin penggunaan kamera semudah orang menggunakan pensil. Berangkat dari pemikiran itu serta adanya pengembangan teknologi dry-plate, ia berhasil menciptakan perusahaan yang tak hanya menjadi icon Amerika juga icon bagi para praktisi fotografi amatir. Kodak berhasil mewujudkan ide dimana orang bisa memotret moment spesial mereka dengan mudah dengan biaya yang murah.

Brownie No.2, salah satu kamera pertama Kodak dengan sistem Dry-Plate
Tak lama setelah itu, Eastman menerapkan teknologi baru pada produknya (dengan meninggalkan teknologi dry-plate dan beralih ke material film) karena ia sadar kalau teknologi baru akan melayani customer lebih baik dibanding teknologi lama. Dengan cepat ia beralih ke teknologi film, meskipun saat itu teknologi film masih dalam pengembangan dan hanya menghasilkan foto hitam-putih dalam waktu yang cukup lama.

Sayangnya, Pemikiran Eastman tidak dilanjutkan oleh generasi penerusnya. Pada akhirnya para pemimpin baru di Kodak hanya fokus pada keuntungan semata dan merasa puas dengan teknologi mereka yang sudah ketinggalan zaman. Mereka lupa pada customer mereka, pada apa yang diiinginkan oleh customer mereka. Akibatnya, customer –pun beralih ke kompetitor lain yang menawarkan teknologi terbaru yang memudahkan hidup mereka: teknologi digital.

Nah, bagaimana dengan Nokia?. Dalam kondisi dimana mereka kekurangan tenaga ahli dibidang software, Nokia masih juga tidak sadar dan tidak fokus pada compatibility aplikasi mereka. Mereka malah merancang ponsel yang tidak bisa memainkan game yang biasa dimainkan oleh customer di ponsel mereka sebelumnya. Seperti diketahui bahwa kurangnya perhatian pada kebutuhan customer adalah ‘peti mati’ bagi sebuah perusahaan.

Nokia X, salah satu smartphone Nokia berbasis Symbian yang dianggap gagal dipasaran
Jadi apa pelajaran yang bisa kita ambil dari kasus diatas ialah: buatlah customer menjadi pusat perhatian kita. Luangkan waktu untuk mengetahui kebutuhan mereka dan memikirkan cara mengatasi permasalahan mereka.

3) Bergerak terlalu lamban
Cepat dalam berinovasi sangat sulit dilakukan JIKA perusahaan masih dalam kondisi aman, tentram, dan damai. Nah, salah satu kesalahan yang dilakukan oleh Nokia ialah: mereka tidak segera merubah platform smartphone (OS) mereka dari Symbian ke Operation System (OS) generasi berikutnya yaitu MeeGo. Langkah mereka dengan menjadikan Symbian sebagai OS yang bersifat Open Source untuk mengalahkan Android pada tahun 2008, sudah terlambat. Karena hal itu mestinya sudah mereka lakukan beberapa tahun sebelumnya.

Nokia N9, Smartphone dengan Sistem operasi MeeGo
Kodak juga demikian, bergerak sangat lamban ditengah lajunya arus perubahan didunia industri. Padahal mereka telah mengetahui perubahan tersebut jauh hari sebelumnya. Yap!, Kodak pernah melakukan studi pada 1981 yang mengindikasikan kalau mereka perlu waktu sepuluh tahun untuk melakukan perubahan ke teknologi digital, tapi kenyataannya mereka gagal menguasai teknologi tersebut, parahnya lagi mereka malah acuh tak acuh terhadap teknologi tersebut.

Pelajaran dari kisah diatas ialah, bahwa kita harus lebih gesit dan berani. Berusahalah mati-matian agar bisa menguasai teknologi/produk baru, bahkan jika perusahaan anda saat ini masih dalam kondisi aman dan profitable. Terus mempertahankan produk yang sudah ada, hanya akan membawa anda semakin jauh dari yang namanya keberhasilan.

4) Tak mau mendengarkan masukan dari para staff.
Kodak, dengan seluruh sumber daya yang mereka miliki, telah lebih dulu memprediksikan munculnya teknologi kamera digital. Bahkan mereka sudah tahu tentang teknologi tersebut, 20 tahun sebelum penjualan kamera digital ‘mematikan’ kamera analog ditahun 2002. Tapi sayangnya, Para manager Kodak dilevel atas malah tidak mendengarkan masukan dari departemen Market research yang memberitahukan kalau perusahaan hanya punya waktu satu dekade untuk berubah keteknologi digital. Sekedar informasi kalau salah satu karyawan mereka adalah orang yang pertama kali mengembangkan kamera digital tapi Kodak malah tidak menghiraukannya.

Steve Sasson, Karyawan Kodak yang menemukan kamera digital pertama ditahun 1975, bercerita saat ia mempresentasikan perangkat ciptaannya tersebut. Pada waktu itu orang-orang diperusahaannya cuma mengatakan “Lucu juga benda ini, tapi jangan beritahu siapapun tentang benda ini”. Sasson tak mampu meyakinkan siapapun yang ada di Kodak tentang penemuannya yang potensial. Dan begitu Sony dan perusahaan lainnya berhasil memproduksi kamera digital yang murah ke pasaran, saat itulah Kodak telah kehilangan peluang mereka selamanya. Peringatan dari orang-orang dalam perusahaan mereka sendiri diabaikan, dan pada akhirnya ditahun  2012, Kodak dinyatakan bangkrut untuk kesebelas kalinya.
Steve Sasson bersama Kamera digital pertama, ciptaannya.
Jadi pelajaran yang bisa kita petik ialah: Pastikan seluruh karyawan dengan jiwa inovator disetiap level perusahaan itu bersuara dan perusahaan wajib mendengarkan saran dari mereka. Wajib!

5) Gagal mengembangkan budaya Inovasi
Dengan kata lain mereka cepat merasa puas.
Awal sejarah Nokia dalam berinovasi (dari sebuah pabrik kertas biasa menjadi perusahaan elektronik dan menjadi produsen smartphone) tidak mampu menyelamatkan perusahaan dari ketergantungan usaha dibidang Hardware. Mereka cukup puas dengan kesuksesan yang telah  mereka raih dan gagal merencanakan pengembangan usaha yang efektif dimasa depan.
Para pemimpin di Kodak juga mengabaikan masukan dari karyawan mereka yang melihat teknologi digital sebagai sebuah peluang yang menjanjikan. Para Boss di Kodak hanya tahu kalau inovasi digital nantinya akan mematikan layanan/penjualan film (Klise foto) dan photofinishing, dan mereka tak bisa melihat lebih jauh lagi.

Pada 1999, CEO perusahaan, George M.C. Fisher, menyampaikan pada the New York Time, kalau Kodak memandang konsep foto digital sebagai musuh, sebagai monster jahat yang suatu saat bisa membunuh bisnis pencucian film dan kertas foto yang telah menjadi sumber pemasukan Kodak selama beberapa dekade.
George M.C. Fisher, CEO Kodak
Inovasi kadang bisa menjadi sebuah ancaman. Tapi kadang kita harus melepaskan atau meniadakan sebuah produk atau layanan agar kita bisa bertransformasi kesebuah layanan/ produk baru. Seperti halnya, Tarzan saat berayun, dimana ia harus melepaskan akar pohon yang satu untuk menuju akar pohon berikutnya guna mencapai suatu tujuan.

Pelajaran yang bisa kita ambil ialah: Jadikan inovasi sebagai komponen nyata dalam budaya perusahaan kita. Reward diperlukan, agar membantu karyawan lebih termotivasi untuk bisa terus berkembang. Intinya, Inovasi itu memang tidak mudah dan tidak semua perusahaan yang gagal berinovasi itu akan mati. Kita masih beruntung, bisa belajar dari kegagalan perusahaan seperti Nokia dan Kodak dan mulai saat ini kita harus bisa melihat dan berencana agar kita  tidak menjadi sebuah perusahaan yang gagal berinovasi dikemudian hari.

Nah, semoga artikel diatas bisa memberikan kita gambaran tentang berbagai  permasalahan yang bisa saja terjadi disebuah perusahaan dan bagaimana cara mengatasi permasalahan tersebut. Salam Yugie! (MY).