Kodak dan Nokia, 2 perusahaan raksasa dibidang fotografi dan komunikasi |
Ketika kita mendengar beberapa motivator
menyebutkan kata “Berinovasi atau mati”, maka yang langsung terbersit dibenak
kita ialah dua ex-perusahaan raksasa yang sering dijadikan contoh perbandingan.
Mereka adalah Nokia dan Kodak. Tapi seperti apa dan
bagaimana kedua perusahaan ini bisa
berakhir, tentunya sebagian dari kita belum begitu jelas mengetahuinya. Ada
yang menyebutkan kalau mereka gagal dalam berinovasi tapi ada pula yang
menyimpulkan bahwa keduanya gagal karena terlalu “terlena” hingga sampai
tertidur panjang dengan kesuksesan mereka dimasa lalu, dan saat mereka
terbangun. BANG!!. Sudah terlambat
bagi mereka untuk sadar bahwa perusahaan kecil (baca: kompetitor) yang dulu
mereka remehkan telah berhasil men-disruptive
mereka hingga tak bisa bangkit kembali. “Flawless Victory for The Disruptors”
Berikut adalah 5 hal yang menjadi penyebab
hancurnya kedua perusahaan tersebut dilansir dari philmckinney.com:
1) Terlalu
sempit mendefinisikan usaha mereka
Nokia memulai usahanya disebuah desa kecil di Finlandia, sebagai perusahaan pabrik
kertas. Perusahaan itu kemudian berkembang menjadi perusahaan elektronik pada
1960-an dan ditahun 1979, Nokia berhasil membangun jaringan selular pertama
didunia. Tak lama kemudian, Nokia lalu meluncurkan produk telepon mobil
pertamanya dengan nama, Mobira Senator.
Mobira Senator, Nokia |
Pada masa akhir tahun 1990-an hingga awal 2000-an,
Nokia menjadi Leader bagi perusahaan
ponsel yang ada didunia. Keuntungan mereka melambung tinggi. Nilai saham mereka
semakin bertambah. Tak heran pada masa itu, masyarakat menyebut semua ponsel
yang ada dengan nama Nokia, meskipun mereknya bukan Nokia.
Hingga akhirnya, perusahaan-perusahaan yang
bergerak dibidang internet-pun mulai bermunculan dengan tenaga ahli mereka yang
tahu kalau koneksi data nantinya akan menjadi sistem komunikasi dimasa depan,
bukan lagi koneksi suara.
Terhadap hal ini, Nokia lambat menyadarinya hingga
pada tahun 2013, saat divisi hardware Nokia
diakuisisi oleh Microsoft, saat
itulah akhir dari masa kejayaan Nokia.
Dalam sebuah artikel di TechCrunch, Daniel Gleeson
mengatakan kalau Nokia tidak menguasai seluruh konsep mengenai software serta
ide mengenai pengembangan ekosistem berbasis aplikasi. Nokia hanya fokus pada masalah hardware
dan mereka menemui jalan buntu disitu.
Adam Leach
adalah seseorang yang pernah bekerja dalam pengembangan platform smartphone Nokia bernama Symbian sekaligus juga salah seorang yang terlibat dalam proyek Nokia Communicator, salah satu smartphone pertama yang pernah dibuat.
Berbicara mengenai pengalamannya saat bekerjasama dengan Nokia, Leach
mengatakan Nokia memiliki prinsip: “Selalu
telepon yang paling penting, dan kita berbicara mengenai jumlah penjualan
telepon”.
Nokia 1100, yang dirilis pada 2003 menjadi ponsel dengan penjualan terbanyak, atau 250 juta handheld |
Keengganan Nokia mengalihkan fokus mereka dari
bidang hardware kebidang software membuat mereka pada akhirnya
harus ‘mengais’ sisa-sisa pasar ponsel dari perusahaan lain.
Begitupun halnya dengan Kodak. Perusahaan ini masih
memilih asyik ‘bermain’ diteknologi kamera analog dibanding berubah cepat keteknologi
digital padahal merekalah yang pertama kali menemukan teknologi kamera digital.
Seperti yang diberitakan majalah Forbes,
bahwa para petinggi diKodak sudah terlanjur terikat dengan pola pikir bahwa
gaji yang mereka terima selama ini berasal dari penjualan roll film (klise),
cairan pencuci film dan kertas foto. Menurut mereka, jika tak ada yang membeli
tiga produk tersebut maka perusahaan tidak memperoleh keuntungan. Jadi
pelajaran yang bisa dipetik dari dua kisah diatas ialah: Berhati-hatilah dalam
mendefinisikan usaha yang kita jalankan. Berpikirlah lebih luas - Out of the Box – untuk memperhitungkan
kemungkinan terjadinya perubahan serta kemampuan kita dalam mengetahui hal yang
paling diinginkan oleh Customer.
2) Lupa akan Customer
George
Eastman, sang pendiri Kodak, pernah mengatakan bahwa suatu saat nanti ia
ingin penggunaan kamera semudah orang menggunakan pensil. Berangkat dari
pemikiran itu serta adanya pengembangan teknologi dry-plate, ia berhasil menciptakan perusahaan yang tak hanya
menjadi icon Amerika juga icon bagi para praktisi fotografi amatir. Kodak
berhasil mewujudkan ide dimana orang bisa memotret moment spesial mereka dengan
mudah dengan biaya yang murah.
Brownie No.2, salah satu kamera pertama Kodak dengan sistem Dry-Plate |
Tak lama setelah itu, Eastman menerapkan teknologi
baru pada produknya (dengan meninggalkan teknologi dry-plate dan beralih ke material film) karena ia sadar kalau
teknologi baru akan melayani customer
lebih baik dibanding teknologi lama. Dengan cepat ia beralih ke teknologi film,
meskipun saat itu teknologi film masih dalam pengembangan dan hanya
menghasilkan foto hitam-putih dalam waktu yang cukup lama.
Sayangnya, Pemikiran Eastman tidak dilanjutkan oleh
generasi penerusnya. Pada akhirnya para pemimpin baru di Kodak hanya fokus pada
keuntungan semata dan merasa puas dengan teknologi mereka yang sudah
ketinggalan zaman. Mereka lupa pada customer
mereka, pada apa yang diiinginkan oleh customer mereka. Akibatnya, customer –pun beralih ke kompetitor lain
yang menawarkan teknologi terbaru yang memudahkan hidup mereka: teknologi
digital.
Nah, bagaimana dengan Nokia?. Dalam kondisi dimana
mereka kekurangan tenaga ahli dibidang software,
Nokia masih juga tidak sadar dan tidak fokus pada compatibility aplikasi mereka. Mereka malah merancang ponsel yang
tidak bisa memainkan game yang biasa
dimainkan oleh customer di ponsel
mereka sebelumnya. Seperti diketahui bahwa kurangnya perhatian pada kebutuhan customer adalah ‘peti mati’ bagi sebuah
perusahaan.
Nokia X, salah satu smartphone Nokia berbasis Symbian yang dianggap gagal dipasaran |
Jadi apa pelajaran yang bisa kita ambil dari kasus
diatas ialah: buatlah customer
menjadi pusat perhatian kita. Luangkan waktu untuk mengetahui kebutuhan mereka
dan memikirkan cara mengatasi permasalahan mereka.
3) Bergerak
terlalu lamban
Cepat dalam berinovasi sangat sulit dilakukan JIKA
perusahaan masih dalam kondisi aman, tentram, dan damai. Nah, salah satu kesalahan yang dilakukan oleh Nokia ialah: mereka
tidak segera merubah platform smartphone
(OS) mereka dari Symbian ke Operation System (OS) generasi
berikutnya yaitu MeeGo. Langkah
mereka dengan menjadikan Symbian sebagai OS yang bersifat Open Source untuk mengalahkan Android pada tahun 2008, sudah
terlambat. Karena hal itu mestinya sudah mereka lakukan beberapa tahun
sebelumnya.
Nokia N9, Smartphone dengan Sistem operasi MeeGo |
Kodak juga demikian, bergerak sangat lamban
ditengah lajunya arus perubahan didunia industri. Padahal mereka telah
mengetahui perubahan tersebut jauh hari sebelumnya. Yap!, Kodak pernah melakukan studi pada 1981 yang mengindikasikan
kalau mereka perlu waktu sepuluh tahun untuk melakukan perubahan ke teknologi
digital, tapi kenyataannya mereka gagal menguasai teknologi tersebut, parahnya
lagi mereka malah acuh tak acuh
terhadap teknologi tersebut.
Pelajaran dari kisah diatas ialah, bahwa kita harus
lebih gesit dan berani. Berusahalah mati-matian
agar bisa menguasai teknologi/produk baru, bahkan jika perusahaan anda saat
ini masih dalam kondisi aman dan profitable.
Terus mempertahankan produk yang sudah ada, hanya akan membawa anda semakin
jauh dari yang namanya keberhasilan.
4) Tak mau
mendengarkan masukan dari para staff.
Kodak, dengan seluruh sumber daya yang mereka
miliki, telah lebih dulu memprediksikan munculnya teknologi kamera digital.
Bahkan mereka sudah tahu tentang teknologi tersebut, 20 tahun sebelum penjualan
kamera digital ‘mematikan’ kamera analog ditahun 2002. Tapi sayangnya, Para manager Kodak dilevel atas malah tidak
mendengarkan masukan dari departemen Market
research yang memberitahukan kalau perusahaan hanya punya waktu satu dekade
untuk berubah keteknologi digital. Sekedar informasi kalau salah satu karyawan mereka adalah orang yang pertama kali mengembangkan
kamera digital tapi Kodak malah tidak menghiraukannya.
Steve Sasson,
Karyawan Kodak yang menemukan kamera digital pertama ditahun 1975, bercerita saat
ia mempresentasikan perangkat ciptaannya tersebut. Pada waktu itu orang-orang
diperusahaannya cuma mengatakan “Lucu
juga benda ini, tapi jangan beritahu siapapun tentang benda ini”. Sasson
tak mampu meyakinkan siapapun yang ada di Kodak tentang penemuannya yang
potensial. Dan begitu Sony dan perusahaan lainnya berhasil memproduksi kamera
digital yang murah ke pasaran, saat itulah Kodak telah kehilangan peluang
mereka selamanya. Peringatan dari orang-orang dalam perusahaan mereka sendiri
diabaikan, dan pada akhirnya ditahun 2012, Kodak dinyatakan bangkrut untuk
kesebelas kalinya.
Steve Sasson bersama Kamera digital pertama, ciptaannya. |
Jadi pelajaran yang bisa kita petik ialah: Pastikan
seluruh karyawan dengan jiwa inovator disetiap level perusahaan itu bersuara
dan perusahaan wajib mendengarkan saran dari mereka. Wajib!
5) Gagal
mengembangkan budaya Inovasi
Dengan kata lain mereka cepat merasa puas.
Awal sejarah Nokia dalam berinovasi (dari sebuah
pabrik kertas biasa menjadi perusahaan elektronik dan menjadi produsen smartphone) tidak mampu menyelamatkan
perusahaan dari ketergantungan usaha dibidang Hardware. Mereka cukup puas dengan kesuksesan yang telah mereka raih dan gagal merencanakan
pengembangan usaha yang efektif dimasa depan.
Para pemimpin di Kodak juga mengabaikan masukan
dari karyawan mereka yang melihat teknologi digital sebagai sebuah peluang yang
menjanjikan. Para Boss di Kodak hanya
tahu kalau inovasi digital nantinya akan mematikan layanan/penjualan film
(Klise foto) dan photofinishing, dan mereka
tak bisa melihat lebih jauh lagi.
Pada 1999, CEO perusahaan, George M.C. Fisher, menyampaikan pada the New York Time, kalau Kodak memandang konsep foto digital
sebagai musuh, sebagai monster jahat yang suatu saat bisa membunuh bisnis
pencucian film dan kertas foto yang telah menjadi sumber pemasukan Kodak selama
beberapa dekade.
George M.C. Fisher, CEO Kodak |
Inovasi kadang bisa menjadi sebuah ancaman. Tapi
kadang kita harus melepaskan atau meniadakan sebuah produk atau layanan agar
kita bisa bertransformasi kesebuah layanan/ produk baru. Seperti halnya, Tarzan
saat berayun, dimana ia harus melepaskan akar pohon yang satu untuk menuju akar
pohon berikutnya guna mencapai suatu tujuan.
Pelajaran yang bisa kita ambil ialah: Jadikan
inovasi sebagai komponen nyata dalam budaya perusahaan kita. Reward diperlukan, agar membantu
karyawan lebih termotivasi untuk bisa terus berkembang. Intinya, Inovasi itu
memang tidak mudah dan tidak semua perusahaan yang gagal berinovasi itu akan
mati. Kita masih beruntung, bisa belajar dari kegagalan perusahaan seperti
Nokia dan Kodak dan mulai saat ini kita harus bisa melihat dan berencana agar
kita tidak menjadi sebuah perusahaan
yang gagal berinovasi dikemudian hari.
Nah, semoga artikel diatas bisa memberikan kita
gambaran tentang berbagai permasalahan
yang bisa saja terjadi disebuah perusahaan dan bagaimana cara mengatasi
permasalahan tersebut. Salam Yugie! (MY).