Pemeriksaan DNA dianggap sebagai pemeriksaan identitas yang paling valid |
Pada kasus
kematian atau kecelakaan dengan korban tidak dikenal, salah satu tugas yang harus dilakukan
oleh tim penyidik adalah menentukan identitas korban. Ahli yang diminta bantuannya untuk
melakukan identifikasi personal adalah dokter spesialis kedokteran forensik
yang biasanya dibantu oleh ahli forensik lainnya, seperti ahli antropologi
forensik, ahli odontologi forensik,
dan ahli DNA. Pada prisipnya, identifikasi personal pada korban meninggal
adalah serangkaian tindakan pembandingan data hasil pemeriksaan terhadap mayat
(Data Postmortem) dengan data
tersangka korban saat masih hidup (Data Antemortem).
Dokter yang diminta bantuannya untuk melakukan identifikasi korban akan
melakukan serangkaian pemeriksaan luar maupun dalam dari tubuh mayat serta beberapa
pemeriksaan Laboratorium jika diperlukan. Disini keterampilan dokter pemeriksa
diuji. Semakin tinggi pengetahuan dan pengalamannya, akan semakin banyak data
Postmortem yang dapat digali dan dikumpulkannya. Data ini kemudian akan
dibandingkan dengan data tersangka korban yang diperoleh dari keluarga, rekam
medis, rekam medis gigi, data polisi dan sebagainya. Adanya kesesuaian data
antemortem dan data postmortem akan mempersempit jumlah tersangka korban dan
akan semakin memperkuat dugaan bahwa tersangka korban adalah korban yang sebenarnya.
Sebaliknya adanya satu data yang tidak sesuai akan menyebabkan tersangka korban
tersebut dicoret dari daftar tersangka korban.
Sir Alec J. Jeffreys, pelopor metode pemeriksaan DNA dengan sidik jari |
Sejak
ditemukannya metode pemeriksaan DNA Fingerprint
yang dapat digunakan untuk identifikasi personal oleh Alec J. Jeffreys (1986),
perkembangan teknologi DNA dalam bidang kedokteran forensik telah maju
sedemikian pesat. Pada saat ini berbagai pemeriksaan Lokus (daerah DNA) telah dapat dilakukan untuk menentukan secara
nyaris pasti apakah korban tak dikenal itu adalah si A atau si B. Penelitian
menunjukkan bahwa diantara sekitar tiga milyar DNA manusia. Ada sebagian diantaranya yang ternyata bersifat Individual Spesific. Artinya; susunannya
khas untuk setiap individu sehingga dapat digunakan untuk membedakan individu
satu dengan yang lainnya. DNA yang bersifat Individual
Spesific ini berkumpul pada bagian ujung dari setiap kromosom yang kita
kenal sebagai daerah telomere. Dalam
rangka pembuktian identitas individu, pemeriksaan DNA merupakan pelengkap dari
berbagai pemeriksaan forensik lainnya. Akan tetapi, ada banyak keadaan dimana
pemeriksaan forensik lainnya tidak mungkin lagi dilakukan karena sample yang ada kualitas dan
kuantitasnya yang kurang jelas, seperti pada kasus peledakan bom atau kebakaran. Pada kasus
ini pemeriksaan DNA mungkin merupakan salah satu dari sedikit pemeriksaan yang
masih dapat dilakukan, dan pemeriksaan ini dapat dikatakan sebagai pemeriksaan
pamungkas yang memastikan identitas individu.
Sampel
DNA pada kasus Bom
Pada kasus peledakan bom dimana ledakannya bersifat ‘High Explosive” biasanya derajat kerusakan yang ditimbulkannya
juga amat hebat. Setiap ledakan bom dapat meninggalkan tiga jenis kerusakan
pada tubuh manusia yang terkena dampak dari bom tersebut, yaitu:
1. Efek ledakan; berupa otot yang tercabik, tulang
yang patah, atau hancurnya tubuh.
2. Efek proyektil; yaitu terjadinya lubang-lubang
akibat pecahan proyektil, dan
3. Luka bakar akibat nyala api.
Pola luka pada
tubuh korban peledakan bervariasi, tergantung pada jarak korban dari pusat
ledakan. Pada korban yang posisinya dekat dengan pusat ledakan, dapat
dipastikan tubuhnya hangus, tercabik-cabik menjadi banyak potongan dan tersebar
jauh. Pada posisinya yang lebih jauh, tubuhnya relatif utuh, penuh dengan
lubang-lubang proyektil dan efek ledakan, serta mungkin juga luka bakar.
Sedangkan pada posisinya yang lebih jauh lagi, yang dapat ditemukan mungkin
hanya luka bakar serta luka-luka tumpul akibat kejatuhan benda-benda lain yang
hancur di sekitarnya.
Berdasarkan
gambaran tersebut, untuk pemeriksaan DNA terhadap korban ledakan bom, maka sample yang dapat diambil untuk
pemeriksaan DNA bervariasi tergantung pada kondisi korbannya. Pada kasus bom
Bali, tampaknya korban peledakan bom di Bali ada yang utuh tubuhnya, tetapi ada
juga yang sudah berupa arang serta potongan jaringan hangus. Untuk korban yang
tubuhnya masih utuh, sample DNAnya dapat diambil dari darah, otot, organ dalam,
tulang, serta gigi. Untuk korban yang sudah berupa arang, kita mungkin masih
dapat mengambil bahan DNA dari jaringan yang belum terlalu terbakar, yatu dari
gigi, tulang, dan mungkin juga otot panggul dalam yang semuanya pada umumnya
masih belum hangus. Untuk yang
berupa serpihan jaringan hangus, dapat dilakukan pemotongan tepat di garis
tengah. Jika bagian tengah jaringan masih lunak dan belum hangus, bagian ini
dapat diambil sebagai bahan DNA. (MY)