Gaya Klasik-Barat identik dengan Tiang-tiang besar Korinthyan |
Dalam buku Understanding Architecture : Its elements, History, and meaning
(1993), Leland. M. Roth menyebutkan bahwa masyarakat negara-negara besar yang
beradab dan berbudaya merekam otobiografinya dalam tiga jenis manuskrip.
Pertama, berupa The Book of their deeds
yang berisi tentang apa yang sudah dilakukan oleh bangsa yang bersangkutan.
Kedua, berupa the book of their words
yang berisi konsep, gagasan, ide dan petuah-petuah arif bijaksana. Ketiga,
berupa The book of their art and
architecture yang berisi rekaman karya seni dan arsitektur yang merupakan
cerminan sejarah secara fisik dan visual, sebagai warisan budaya yang menjadi
pusat orientasi perkembangan peradaban.
Jadi bisa dikatakan bahwa arsitektur
menempati ruang yang penting bagi masyarakat di dunia, karena arsitektur sudah
berkembang jauh lebih lama dari apa yang telah diperkirakan oleh manusia.
Berkembang di dalam masyarakat, mengikuti perubahan kebudayaan dan peradaban
manusia. Mulai dari arsitektur primitif, tradisional, klasik pada masa lalu dan
modern yang ada pada masa kini (sekarang), hingga isme-isme arsitektur lainnya
yang nantinya akan muncul di masa yang akan datang.
Khusus dalam postingan saya kali ini akan membahas mengenai arsitektur klasik-barat yang fokus pada kondisi dimana masih ada tidaknya pengaruh atau pengaplikasian arsitektur
klasik-barat pada bangunan di dunia dewasa ini, khususnya di Indonesia yang perkembangannya tak
dapat diperkirakan.
Pengaruh dari arsitektur klasik-barat yang
pertama kali berkembang di Barat (Eropa) telah mempengaruhi khasanah arsitektur
di Timur (Asia). Kalau di Barat dikenal aliran
klasik, maka di Timur, khususnya
Indonesia dikenal yang namanya Arsitektur tradisional. Arsitektur klasik-barat yang berkembang sejak zaman Yunani
kuno ribuan tahun silam hingga berakhir pada abad XVI seiring dengan munculnya
aliran lain seperti Neo-Klasik yang merupakan bentuk pembaharuan dari aliran
klasik, tepatnya pada masa Post-Renaissance.
Ada juga yang
menyebut bahwa paham klasik-barat berakhir pada abad XIX dengan munculnya
aliran modern yang juga merupakan isme hasil revolusi klasik-barat. Perubahan
secara revolusioner ini sejalan dengan adanya revolusi Industri mulai awal abad
ke XIX di Perancis dan Inggris.
|
Karena dianggap sudah terlalu kuno (Old Fashion) maka bentuk klasik-barat
sudah jarang sekali dilihat penampilannya pada beberapa bangunan baru di belahan dunia.
Dari bangunan pelayanan sosial, sarana pendidikan, tempat peribadatan sampai ke
bangunan rumah tinggal tak nampak lagi klasik-barat dalam konsep desainnya.
Kalau fenomena seperti itu terjadi di luar
negeri sana, bagaimana halnya dengan di Indonesia?.
Disinilah kita akan membahas realita tersebut agar menjadi bahan referensi kita
nantinya. Pada dasarnya arsitektur itu merupakan sebuah ilmu yang perlu dikaji
dan dipelajari karena arsitektur akan selalu berkembang dan nantinya akan menghasilkan
paradigma-paaradigma baru dalam bidang seni desain, bentuk dan ruang. Hal
sepeti itulah yang dilakukan di masa lampau sehingga bermunculanlah nama-nama arsitek, seperti Charles
Jencks, John Ruskin, Kenzo Tange, Le Corbuzier, Viollet Le Duc, dan Arsitek
kawakan lainnya di seluruh dunia.
Arsitek ternama Jepang, Kenzo Tange, berpose di gedung rancangannya |
Arsitektur yang dinilai paling inovatif di
dunia pada saat ini adalah arsitektur kontemporer. Di Indonesia sendiri
arsitektur kontemporer dirasa sangat minim dan boleh dikata jumlahnya bisa dihitung
jari. Keadaan ini mungkin dikarenakan aspek keunikan dan kebebasan berkreasi di
bidang arsitektur kurang berkembang. Kebanyakan masyarakat Indonesia lebih menyukai pola dan bentuk
yang lagi trend pada saat sekarang, dan para arsitekpun memenuhi keinginan
tersebut, karena hal tersebut berkaitan dengan tuntutan pasar yang selalu
menginginkan hal-hal baru. Arsitektur kontemporer yang lahir pada masa dimana
aliran modern sedang berkembang tak ditengok sama sekali. Bahkan parahnya lagi
aliran arsitektur yang lahir jauh sebelum era kontemporer muncul malah tidak
diterapkan lagi, termasuk juga aliran klasik-barat.
Sebagian besar kita menganggap bahwa yang
"tua" atau yang "kuno" itu sudah lewat masa kejayaannya lagi, padahal kadang kita lupa
bahwa yang tua dan kuno semacam arsitektur klasik-barat dulunya menjadi trend dan merupakan sesuatu yang baru.
Kurang diminatinya gaya-gaya klasik-barat (West-Classic Style) oleh sebagian besar
masyarakat, membuat sebagian besar Arsitek di Indonesia ikut latah dengan tidak
menggunakannya dalam konsep perancangan mereka (pra-design). Mengejar order sebanyak-banyaknya dengan mengabaikan
keprofesionalannya justru menjadi motto mutlak bagi sebagian Arsitek non-idealis
dewasa ini. Memang, realitanya sangat sulit menerapkan konsep bangunan ala
klasik-barat di bumi persada ini yang sebagian besar masyarakatnya kurang paham
dengan arsitektur jenis ini. Jangankan masyarakat awam, fenomena tidak disambut
gembiranya arsitektur klasik-barat juga mendapat tantangan dari para Arsitek
handal sekelas Dipl. Ing. Y.B. Mangunwijaya yang lebih menekankan pada pengembangan
arsitektur tradisional yang murni berasal dari budaya Indonesia. Menurut beliau hal itu
lebih baik daripada menerapkan gaya
Arsitektur budaya asing yang tak memiliki hubungan sama sekali dengan budaya
timur.
Arsitek legendaris, Alm. Romo Y.B. Mangunwijaya, penggiat arsitektur tradisional Indonesia |
Memang sebaiknya kita lebih menitikberatkan
perhatian ke arsitektur langgam asli budaya sendiri, yang kadang kita merasa
kurang “pede” untuk menerapkannya di negeri kita sendiri, padahal arsitektur
kuno atau tradisional masing-masing daerah telah didesain sedemikian rupa
sesuai dengan tuntutan alam sekitarnya. Walaupun demikian, bukan berarti kita
tidak bisa menggunakan langgam arsitektur klasik-barat dalam perencanaan
bangunan di Indonesia.
Jangan sampai kita merasa terpenjara dan terpasung dengan nasehat dari para
Arsitek pro-pengembangan kebudayaan yang menyatakan bahwa hendaknya khasanah
budaya arsitektur peninggalan bangsa kita lebih diutamakan dibanding
arsitektur asing dari luar yang tak sesuai dengan peruntukannya.
Kenyataannya sampai sekarang, permasalahan
itu masih banyak dijadikan bahan seminar dikalangan para Arsitek dan pemerhati
budaya. Namun apapun hasilnya hendaknya kita mengembangkan arsitektur negeri
sendiri namun di lain pihak kita juga senantiasa memberikan apresiasi terhadap
arsitektur budaya lainnya.
Mengenai arsitektur klasik-barat yang konon
di Indonesia keberadaannya sangat sulit ditemukan, walaupun ada paling hanya elemen-elemen penunjang dari aliran ini yang diambil, seperti kolom dan tiang model
korinthya, Ionic, kaca-kaca lukis warna, elemen ukir dari Yunani dan sebagainya.
Berbagai model tiang yang menjadi ciri khas arsitektur Klasik |
Berbeda dengan keadaan di Indonesia, di Eropa khususnya di Prancis,
Yunani, Belanda, eksistensi bangunan tipe klasik-barat sangat banyak ditemukan
dikarenakan aliran arsitektur tersebut aslinya memang berasal dari sana. Kebanyakan bangunan-bangunan kuno
tersebut merupakan bangunan tua yang sebenarnya dibangun pada masa kejayaan
kerajaan yang menjadi era maraknya pembangunan arsitektur klasik, yaitu sekitar
abad ke XVI-XIX. Bangunan-bangunan tersebut tidak ada yang dipugar atau
dihancurkan oleh pemerintah setempat dikarenakan mereka sadar akan arti penting
bangunan kuno itu sebagai simbol dari kejayaan bangsa mereka pada masa lampau
serta menjadi saksi bisu sejarah perkembangan peradaban manusia di dunia.
Selain dengan metode preservasi pada bangunan tua peninggalan era klasik-barat,
pemerintah di Eropa juga mengadakan konservasi pada bangunan tua yang rusak
tanpa mengubah bentuk fisik awal bangunan sehingga kesan zaman abad pertengahan
(mediaeval) masih terasa.
Bangsa Eropa sudah berada pada puncak
kepuasan akan modernitas yang telah melanda dunia. Kebanyakan mereka mulai
melirik segala sesuatu yang berkesan “back to nature”, “back to beginning”, dan “back
to the past”. Bangsa eropa dengan segala hal yang berbau modern dan penuh
dengan beragam kerumitan, sehingga lebih memilih kembali ke masa lalu. Mulai
dari pakaian, gaya
rambut, mobil, musik, dan sebagainya. Semua itu telah menjadi trend kembali. Berbeda
dengan kebutuhan formal seperti diatas yang hanya mundur beberapa dekade,
arsitektur malah mundur beberapa abad. Gaya
arsitektur beratus-ratus tahun silam dibangkitkan kembali dengan penerapan
elemen unsurnya dalam pembangunan property
di Eropa.
Di Indonesia sendiri perkembangan
klasik-barat sangat lamban bahkan boleh dikata tidak berkembang sama sekali.
Hanya segelintir orang saja yang merasakan pengaruh dari arsitektur gaya ini. Umumnya mereka
adalah orang-orang yang suka dan fanatik dengan gaya aliran modern atau International Style, dan yang pasti kebanyakan dari mereka berasal dari kalangan elit yang kaya raya. Kita ketahui bahwa untuk menghadirkan kembali nuansa yunani dan
romawai kuno atau menciptakan lagi sebuah bangunan bernuansa mediteranian
tentunya membutuhkan tidak hanya biaya yang besar, tetapi juga ahli khusus
yang tentunya butuh biaya mahal untuk mengupahnya. Untuk menerapkan konsep
klasik di Indonesia
perlu adanya keinginan bersama dari berbagai pihak terutama peranan para
budayawan.
Butuh budget lebih besar lagi untuk membangun hunian bergaya klasik-Eropa |
Seperti kita ketahui, arsitektur
klasik-barat sudah ada sejak zaman Yunani kuno, dimana pada masa itu seni
arsitektur sudah didasarkan dengan teori dan ilmu pengetahuan antara lain: ilmu
alam, matematika, ukur sudut ruang, biologi, dan lain-lain termasuk berbagai
teori keindahan dan seni.
Arsitektur berkembang dari masa ke masa
dalam kurun waktu sejak manusia pertama hingga sekarang, di seluruh bumi luas
tak terbatas. Meskupun terjadi percampuran dengan saling pengaruh antara budaya
barat dengan timur dalam zaman modern, namun hal itu tidak sampai merusak suatu
peninggalan kebudayaan suatu teritorial. Perkembangan budaya manusia khususnya
dalam bidang teknologi, komunikasi, dan transportasi perhubungan semakin maju
sehingga batasan waktu dan ruang semakin tidak jelas. Perubahan tadi menjadikan
semakin cepatnya saling pengaruh dan pencampuran di dalam dunia arsitektur.
Batas antara dunia barat dan timur tidak kelihatan lagi, karena bentuk barat
banyak mempengaruhi pola hidup dan pola pikir timur, sehingga arsitektur
tradisional semakin terdesak karena tidak dapat memenuhi tuntutan hidup.
Arsitektur yang termasuk dalam aliran
klasik-barat adalah: Gothic, Yunani, Romawi, Mediaeval, dan Romanesque. Pada
arsitektur Post-Renassance yang berlangsung dari abad XVI hingga XIX terjadi
pencampuran antara gaya-gaya klasik yang sudah ada sebelumnya. Gejala ini
menandai adanya perubahan besar dalam arsitektur yang tadinya didominasi oleh gaya klasik murni.
Akhir dari periode klasik yang oleh Fletcher
disebut masa Post-Renaissance ini terjadi pada abad XIX dimana gaya arsitektur
sudah mulai dipengaruhi oleh pola modern dengan penggunaan bahan-bahan dari
baja dan beton bertulang, dan inilah salah satu tanda pembatas antara klasik
dan modern barat
Berkembangnya industri baja, ikut mempengaruhi berakhirnya masa Arsitektur Klasik |
Permasalahan yang terjadi sekarang ini yang
justru perlu dicari solusinya adalah pelestarian (Preservasi) dan perbaikan
(konservasi) terhadap arsitektur klasik-barat yang gema dan nuansanya sudah
tidak ada lagi pada bangunan baru yang serba modern. Kita hanya mengetahui
seperti apa atau bagaimanakah arsitektur klasik-barat itu dari
peninggalan-peninggalan bangunan bersejarahnya yang tersebar di seluruh penjuru
dunia, bahkan di Indonesia dimana kita bisa lihat salah satu contohnya yaitu Gereja Katedral yang berlokasi di Jakarta.
Perkembangan arsitektur klasik-barat
di Indonesia kurang pesat. Hal ini dikarenakan faktor sifat bangsa kita yang
lebih mengutamakan aspek dan unsur modernisasi di segala bidang. Arsitektur
klasik-barat hanya dijumpai pada rumah-rumah tinggal tertentu saja, karena
memang hanya sebagian orang saja yang memahami keberadaan gaya arsitektur ini. Untungnya, klasik-barat
masih bisa berbangga diri karena bentuk elemen dekoratifnya masih banyak
diminati seperti bentuk lukisan pada dinding tembok atau langit-langit kubah,
tiang-tiang yunani (Korinthyan) yang sekarangpun masih banyak diaplikasikan
pada sebagian besar rumah tinggal di Indonesia.
International Style merupakan gaya arsitektur yang paling banyak dipakai pada
bangunan gedung di Indonesia karena desainnya yang sederhana dengan bentuk
kotak kubus tanpa adanya “topi” atau “payung” yang menutupinya. Mungkin karena
bentuk ini lebih modern di mata kita.
Walau bagaimanapun semua aliran dalam ilmu
arsitektur masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan, dan perlu diketahui
bahwa "arsitektur tidak mempunyai tujuan pribadi, tetapi bertujuan mengabdi pada
manusia, kemanusiaan, masyarakat raya dan jika ada kepercayaan mengabdi kepada
Tuhan". (Prof. Ir. F. Dicke 1956).
penulis: Muh. Yusuf, ST.